Jumat, 20 Januari 2012

Easy Come, Easy Go


“Yah, tanggung banget nih cerita. Mana seri selanjutnya belum dibeli.” Ujarku, aku pun  langsung menutup komik ku dan tanpa pikir panjang lagi aku bergegas keluar kamar dan langsung melesat menuju pintu keluar untuk pergi ke toko buku yang ada didepan.
     
“Ibu aku pergi ke toko buku yang ada didepan ya..” teriak ku. Ibu yang terpana dengan tingkah laku ku hanya bisa berkata “kebiasaan anak ini”.
      Di toko buku aku mengitari rak-rak buku yang ada disini. Banyak buku yang bagus-bagus disini. Tapi, buku yang aku ingin kan hanya 1 yaitu “Devil’s Ghost” . aku berpikir ternyata buku yang aku cari itu termasuk buku yang cukup “Langka” (mungkin) . Aku terus mencari sampai akhirnya mata ku menangkap sebuah buku yang aku cari-cari dari tadi.
       “Aha.. ini dia bukunya, tapi tinggal satu, bearti tuhan emang membiarkan aku buat membawa buku ini pulang” kata ku girang.
       Dengan cepat aku meraih buku itu, tapi sayangnya bukan hanya aku yang sedang mencari-cari buku ini. Buktinya ada 1 tangan lagi yang sedang memegang buku yang tinggal satu-satunya ini. Aku melirik kepada “si pemilik” tangan, dan ternyata seorang cowok yang cukup “manis”. Tapi, sayang untuk urusan yang satu ini entar-entar deh masalah cowok “manis”.
      “Umm.. sorry tapi buku ini aku yang melihatnya lebih dulu. Jadi biarkan aku untuk mengambilnya.” Ujarku dengan nada memelas. Aku melihat reaksi cowok “manis” tersebut tapi kayaknya cowok itu belum melepaskan tangannya dari buku itu. Dan jelas saja..
       Sorry juga ya tapi buku ini adalah buku yang sudah dari tadi aku cari-cari. Jadi mending kamu aja yang mengalah..” ujar cowok itu dengan nada sombong.
       “tapi kan aku yang ngelihat buku ini lebih dulu “ ujarku nggak mau kalah. Cowok itu juga tetap saja menantang kata-kataku dan nggak mau kalah dari ku. Dan akhirnya perdebatan ini semakin menjadi-jadi. Entah apa kah pertengkaran ini akan terus berlanjut.
      Di kamar kesayangan ku aku teringat-ingat kembali kejadian yang ku alami tadi sore. Yang benar saja dimana-mana “ladies” tuh kan “is the first”. Emang benar ya semua cowok itu egois. Arrgghh.. aku yang semakin kesal membuatku tak konsen lagi untuk membaca komik tersbut.
       “Kesha..” teriak seseorang dibelakang ku. Aku tahu itu suara siapa. Suara itu sudah familiar di telinga ku. Itu suara Chi-chi. Sahabat ku dari kecil, kebetulan kami 1 SMA dan 1 kelas. Aku menoleh untuk menjawab panggilannya.
       “oh, pagi chi..” jawab ku lesu. Aku kehabisan tenaga saking kesalnya gara-gara memikirkan masalah kemaren.
       “Kok lesu sih, ceria dong ini kan masih pagi..” ujar Chi-chi sembari memberi ku semangat “tambahan”. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman kaku. Aku pun memilih untuk diam selama perjalanan menuju kelas.
       Dikelas aku yang duduk sendirian memilih untuk menundukkan kepalaku sembari menenangkan hati yang sedang kacau gara-gara rebutan komik kemarin. Tak lama siswa-siswi yang tadinya sedang asyik dengan kerjaan mereka masing-masing mendadak diam dan kelas menjadi sunyi. Ternyata Bu Rindu datang kekelas kami dengan diikuti oleh seseorang dibelakangnya. Aku tak perduli, aku tetap saja menundukkan kepala.
       “Anak-anak hari ini kalian mendapatkan teman baru, nah silahkan kamu memperkenalkan diri” pinta bu Rindu.
       “Oke, teman-teman langsung aja nama saya Dion Alenarta pindahan dari SMA jakarta. Saya pindah kesini karena alasan orang tua.” Ujarnya dengan senyumman yang menggoda. Kali ini rasa penasaranku akan siapa siswa baru ini muncul. Aku pun menegakkan kepalaku dan melihat seseorang yang telah membuatku kesal sepanjangan.
       “kamu??” jawab ku bersamaan dengan si Dion. Sontak saja seluruh siswa-siswi dikelas ini langsung melihat ke arah kami berdua.
       “nggak bosen-bosen ya kamu tuh ngangguin aku..” ujarnya dengan kesalnya. “lah bukannya malah kamu yang ngikutin aku sampai pindah kesini,,” jawab ku nggak mau kalah.
       “alah, alasan tahu kalau emang mau ngajak kenalan nggak perlu repot-repot ngajak berantem dong..” jawabnya dengan Pe-De nya. Sama dengan kejadian kemaren keributan pun tak terelakkan.
       Arrrgghhh...Hari ini benar-benar sial bagi ku. Kemaren ketemu si “Dion-dion” itu bertengkar gara-gara komik. Hari ini ketemu dia sebagai teman baru dikelas, dan sekarang aku harus sebangku dengannya. Kalau nggak dipisahin oleh bu Rindu mungkin 1 hari penuh ini kami akan bertengkar habis-habisan. Aku mulai merasa aneh dengan sikapnya, seejenak aku merasa kalau sesekali dia melihat ku. Tapi aku menanggapinya dengan raut wajah kesal. Bukan karena apa, tapi akuudah nggak senang dengan sikapnya dari awal bertemu.
       Bel tanda berakhirnya jam sekolah pun bebunyi. Semua siswa dan siswi berhamburan keluar, kecuali aku. Aku baru ingat kalau hari ini adalah hari aku bertugas piket kelas. Untungnya aku nggak sendirian chi-chi memutuskan untuk membantu ku bersih-bersih. Tentu saja aku merasa terbantu, tapi 1 yang bikin aku heran. Kenapa nih cowok nggak pulang-pulang juga?? Oke lah kalau dia sendirian yang belum pulang. Lah, ini seluruh anak-anak putri dikelas ini belum ada yang pulang alasannya sih mau mengenal Dion lebih jauh. Aku yang udah merasa kesal dengan keadaan ini menghempaskan sapu yang aku pegang ke lantai dan memutuskan untuk pergi dari kelas ini sambil menarik Chi-chi keluar bersama ku. Kena marah ya kena marah deh besok, dari pada bertahan disini emosiku tambah meruap-uap.
       Pikiran ku mulai melayang-layang kembali dikamar ini. Aku heran aku merasakan kesal yang amat dalam dengan Dion. Bukan karena apa tapi kalau ketemu Dion bawa-annya mau marah-marah terus.
       “ya tuhan tenangkan lah hamba-Mu yang satu ini ya tuhan. Berikan lah kesejukkan kepada hati hamba ya tuhan”  pinta ku dengan wajah memelas.
       Sehari, 2 hari, bahkan seminggu pun telah berlalu. kekesalan ku pada Dion makin lama makin berkurang. Aku heran makin lama kami pun jadi semakin akrab. Entah kapan keakraban ini dimulai. Aku yang dari tadi melamun saja ternyata disadari oleh Dion.
      “Sha, kamu kenapa?? Sakit?? Mau aku antar ke ruang kesehatan??” tanya Dion dengan suara berbisik. Maklum, soalnya sekarang pelajaran Matematika. Pak Jaya paling nggak senang kalau dia lagi menjelaskan ternyata ada siswa lain yang asyik mengobrol.
       “oh, nggak apa-apa kok” jawab ku dengan sedikit gugup. Aku hanya tak menyangka kalau dalam beberapa hari ini dia berubah menjadi seorang cowok yang sangat lembut.
Aku sekarang lebih memilih untuk memalingkan wajahku karena aku takut pikiran ku terbaca kembali olehnya.
       “Sha, boleh aku minta nomor hape kamu?” tanya Dion dengan sedikit gugup.
Hah? Kok jadi gini. Kesambet ya nih anak.
       “buat apa?” ujar ku dengan memasang wajah heran.
       “oh, nggak boleh ya? Ya udah nggak apa-apa” kata Dion dengan memasang muka sedikit kesal. Aku yang tak tega melihat reaksi Dion begitu akhirnya, aku menarik secarik kertas dan menuliskan nomorku di kertas itu.
       “nih..” kata ku sambil memalingkan wajah dan menundukkan kepala kembali. Setelah itu aku tak tahu lagi gimana perasaannya.
      Semenjak kejadian hari itu kami jadi sering SMS-an. Entah betapa akrabnya kami sekarang seolah-olah kami ini seperti “sepasang kekasih”, itu lah yang ada dipikiran orang-orang yang melihat kami. Anggapan itu emang tak bisa ku salahkan dan tak bisa juga kubenarkan. Tapi aku ragu untuk menyebutkan kalau hubungan kami ini sebagai “HTS”. Mungkin hanya aku saja yang merasa kalau ini perasaan lebih dari seorang teman.
      Akhirnya keraguanku pun terjawab. Beberapa hari kemudian aku tak sengaja melihat Dion di toko buku bersama cewek lain. Sontak saja aku kaget dan menjatuhkan buku-buku yang ada di rak dekatku. Tak heran kalau Dion langsung melihat ke arahku. Aku yang kaget langsung saja berlari keluar meninggalkan toko buku itu.
       Setelah kejadian itu jarak diantara kami kembali seperti semula. Tapi, kali ini aku lah yang membuat jarak ini semakin jauh. Bukan seperti waktu-waktu yang lalu yang disebabkan memang oleh kami berdua. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku menghindari Dion. Berulang-ulang kali Dion ingin mengajak ku bicara tetapi, aku selalu menolaknya.
Emang Dion nggak salah, kenapa aku harus marah? Emang diantara kami nggak ada hubungan apa-apa kan?. Tapi, tetap saja aku tak ingin bertemu dengan Dion lagi.
Berulang-ulang kali Dion ingin mengajak ku bicara tetapi, aku selalu menolaknya.
      Hingga pada suatu hari Dion nggak pernah masuk sekolah lagi semenjak beberapa hari setelah itu. Aku khawatir dengan keadaanya, tanpa pikir panjang lagi aku pergi keruang tata usaha untuk bertanya dimana rumah Dion berada. Setelah menunggu agak lama akhirnya aku mendapatkan alamat rumahnya. Segera saja aku pergi kerumahnya.
       Sesempainya dirumah Dion aku kaget melihat keadaan rumahnya yang ramai oleh orang-orang berbaju serba hitam. Berulang-ulang aku menge-cek alamat yang tertera di kertas ini tetapi hasilnya sama, ini memang alamat yang sama. Lantas aku memutuskan untuk bertanya kepada seseorang ibu yang berada di depan pintu.
       “Permisi bu, apa benar ini rumah Dion Alenarta?” ujarku sedikit ragu.
       “Benar, adek temannya ya?” jawab ibu itu. Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan ibu itu.
       “Ini siapa bu yang meninggal?” tanyaku polos.
       “Kamu nggak tahu dek? Dion meninggal kemarin gara-gara kecelakaan.”
       Aku terdiam. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Air mataku pun kini membanjiri wajahku.  Aku memberanikan diri untuk masuk kedalam dan melihat Dion untuk terakhir kalinya. Di dalam aku melihat Dion sudah terbujur kaku dengan dibungkus kain kafan putih. Aku duduk disamping tubuh tersebut sambil mencoba untuk menjadi seseorang yang tegar. Tanpa disadari seorang wanita tua datang menghampiriku.
       “Kamu teman Dion ya?” tanya ibu itu kepadaku dengan senyuman yang hangat.
       “Iya bu, saya kesha bu teman sebangku Dion”
       “oh, kamu ya yang namanya kesha? Dion kalau nggak salah menitipkan sesuatu untuk kamu, ayo ikut ibu kedalam.” Ajak ibunya Dion.
       Aku menghapus air mataku dan berjalan mengikutinya dari belakang, hingga sampai disuatu ruangan. Mungkin ini adalah kamar Dion. Untuk apa? Apa yang ingin ibu itu berikan?
       Ibu itu menyuruhku duduk diatas kasurnya Dion. Tak lama ibu itu mengambil sesuatu dari dalam lemari Dion. Ibu itu mengambil sebuah buku kecil dari dalam lemari tersebut.
       “Ini barang-barang yang ingin Dion berikan. Di dalam buku Dion banyak menyebut kan nama “kesha”” ujar ibunya Dion.
       Ibu itu mengatakan bahwa sebelum kematian Dion dia menitipkan sebuah kalung dan sebuah buku kecil untuk diberikan kepadaku. Aku membuka buku kecilnya lembaran demi lembaran. Ternyata emang benar di dalamnya banyak terdapat namaku “Kesha”. Aku menangis melihat isi buku tersebut. Karen hampir semuanya dituliskan untukku. Hingga pada 1 halaman aku membaca kalimat “Kesha aku benaran sayang sama kamu, tapi kenapa kamu nggak mau dengarin penjelasan aku. Dia bukan siapa-siapa, dia hanya mantanku yang mau ngucapin selamat tinggal sama aku. Kesha kamu itu orang yang sangat berharga bagiku :( .” aku menangis terisak setelah membaca tulisan tersebut. Aku menyesal mengapa waktu itu aku nggak memberikan Dion kesempatan untuk menjelaskan semuanya.
            Kini semua sudah terlambat, kau telah pergi meninggalkanku. Maaf karena ini semua salahku. Aku memang egois, Dion. Dion tolong percayalah 1 hal kepadaku walaupun kini kamu telah tiada, tapi bagi aku kamu tetap yang pertama bahkan orang yang sangat bearti bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar